Senin, 03 Desember 2012

kewarisan Khuntsa


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Hadits Nabi SAW:
“Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.”(HR Ibnu Abbas)
Dari Hadits diatas dapat ditafsirkan bahwa Seorang yang banci (Khuntsa) mendapatkan bagian warisan, dalam makalah ini akan kami paparkan tentang Warisan khuntsa yang mencatup dalam rumusan masalah di bawah ini

  1. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Khuntsa?
2.      Bagaimana perbedaan ulama mengenai warisan khuntsa?
3.      Apa hukum kewarisan  Khuntsa?
4.      Bagaimana cara Pembagian Warisnya?

C.    Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dari penyusunan Makalah ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah mawaris II. Sedangkan tujuan dari penulisan Makalah ini adalah:
1.      Mengembangkan kreativitas dan wawasan penulis.
2.      Memberikan uraian tentang Kewarisan khuntsa.
3.      Menelaah lebih lanjut mengenai hukum kewaris khuntsa.
4.      Mengetahui bagaimana cara perhitungan didalam kewarisan  khuntsa.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Definisi Khuntsa
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti ‘lunak‘ atau ‘melunak‘. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya.
Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil.[1]
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang atau bahkan sama sekali tidak ada disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang “air kecil”. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Orang yang normal sudah jelas jenis kelaminnya sehingga statusnya dalam pembagian warisan dapat ditentukan dengan segera. Tetapi berbeda halnya dengan khuntsa karena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris, maka ada tujuh macam orang yang ada kemungkinan berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah:[2]

a.       anak
b.      cucu
c.       saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
d.      anak saudara atau keponakan (kandung atau sebapak)
e.       paman (kandung atau sebapak)
f.       anak paman atau sepupu (kandung atau sebapak)
g.      mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si mayit)

Selain ketujuh macam orang itu, tidak mungkin berstatus sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau isteri tidak mungkin khuntsa karena salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya. Begitu juga dengan bapak, ibu, kakek, dan nenek; keempat macam orang ini tidak mungkin khuntsa karena mereka sudah jelas memiliki anak dan/atau cucu.[3]



B.     Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Khuntsa
            Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
1.      Menurut Imam Hanafi
            Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
2.      Menurut Imam Syafii
            Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
3.      Menurut Imam Maliki
            Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).
Imam Hambali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau mengikuti pendapat Imam Maliki.

C.    Hukum Khuntsa dan Cara Pembagian Warisnya

Untuk Khuntsa menurut pendapat yang paling rajih hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya, keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai Khuntsa itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak Khuntsa dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawaris mu’amalah bil adhar yaitu jika Khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita, dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa Khuntsa tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya Khuntsa dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.[4]

D.    Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci

Contoh 1:
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang Khuntsa.
Penyelesaiannya:
·         Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada dua orang anak laki-laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
·         Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3.
Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1.      Menurut madzhab Hanafi:
§ Bagian anak laki-laki            = 2/3
§ Bagian anak banci                = 1/3
2.      Menurut madzhab Syafii:
§ Bagian anak laki-laki            = ½
§ Bagian anak banci                = 1/3
§ Sisa                                       = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
3.      Menurut madzhab Maliki:
·   Bagian anak laki-laki            = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
·   Bagian anak banci                = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12
Contoh 2:
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp 36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara sebapak yang khuntsa
Penyelesaiannya:
·         Jika diperkirakan laki-laki:
§  Suami                                : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
§  Ibu                                     : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
§  Dua sdr lk seibu                : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
§  Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
·         Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6 menjadi 9):
§  Suami                               : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
§  Ibu                                    : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
§  Dua sdr lk seibu                : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
§  Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1)      Menurut madzhab Hanafi:
a.       Suami                                : Rp 18 juta
b.      Ibu                                     : Rp 6 juta
c.       Dua sdr lk seibu                : Rp 12 juta
d.      Khuntsa (Sdr sebapak)      : tidak mendapat apa-apa
2)      Menurut madzhab Syafii:
a.       Suami                                : Rp 12 juta
b.      Ibu                                     : Rp 4 juta
c.       Dua sdr lk seibu                : Rp 12 juta
d.      Khuntsa (Sdr sebapak)      : tidak mendapat apa-apa
e.       Sisa                                    : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)
3)      Menurut madzhab Maliki:
a.       Suami                                : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b.      Ibu                                     : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c.       Dua sdr lk seibu                : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d.      Khuntsa (Sdr sebapak)      : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta
Contoh 3:
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara perempuan kandung, 2 orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara seibu yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
·         Bagian ibu                                           = 1/6
·         Bagian saudara perempuan kandung = ½
·         Bagian 2 saudara pr seibu + 1 saudara seibu khuntsa = 1/3
(1/3 bagian ini dibagi sama rata untuk 3 orang saudara seibu, termasuk yang khuntsa, yaitu masing-masing mendapat 1/9 bagian).[5]

 




BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali
            Menurut Imam Hanafi Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
            Menurut Imam Syafi’iSemua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
            Menurut Imam Maliki Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).
Demikianlah cara pembagian warisan bagi khuntsa menurut tiga madzhab. Semoga ada manfaatnya.

  1. Kritrik Dan Saran
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad,taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan apapun
Walaupun kami telah berusaha keras untuk menyelesaikan makalah ini dengan menyita banyak waktu, pikiran dan materi. kami menyadari bahwa disini masih banyak kekurangan,untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini.sehingga menjadikan makalah ini bermanfaat sampai kapanpun.

والله اعلــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــم بالصواب

2 komentar:

  1. Al-khuntsa dalam bahasa arab diambil dari kata takhannuts yang berarti at-tatsanni ‘mendua’ dan at-takassur ‘terpecah’. Sedangkan menurut istilah ulama, al-khuntsa adalah orang yang berkelamin laki-laki dan perempuan atau tidak memiliki kelamin sama sekali atau yang serupa dengan salah satunya—laki-laki atau perempuan—dengan tanda-tanda yang berbeda.

    Hukum Waris, Terj.Addys Aldizar dan H. fathurrahman, sunt.Halid (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,2004),hlm.392.

    al-khuntsa itu bukan banci pakkk dia itu berkelamin gandaaaaaaa, kalau banci itu mengira bahwa dia adalah perempuan yang terjebak ditubuh laki-laki dan hanya memiliki kelamin laki-laki.....
    sedangkan al khuntsa itu sejak kecil sudah berkelamin ganda....................... wallahu'alam

    BalasHapus
  2. izin copas min :) boleh ya :)

    BalasHapus